Saya merasa mempunyai pengalaman hidup yang saya rasa penalama ini
jarang teman-teman sebaya saya merasakannya. Saya lahir dan dibesarkan
hingga jenjang sekolah dasar di SD Muhammdiyah 1 Samarinda, kemudian SMP
saya tinggal di pondok darul’ulum jombang dan bersekolah di SMP 3
Peterongan, SMA saya kembali merantau pindah kota ke Malang tepatnya di
Man 3 Malang, dan saat ini saya tinggal di Sidoarjo serta kuliah di
Universitas Airlangga.
Manusia nomaden sering melekat menjadi icon saya, bahkan apabila saya
di tanya orang asli mana sayapun bingung menjawab saya itu asli mana
sebab ibarat makan prasmanan dari 10 jenis makanan masing-masing makanan
mungkin hanya saya coba 4-5 sendok.
Banyak perbedaaan yang saya rasakan saat berpindah-pindah dari pulau
ke pulau dan dari kota ke kota. Bahasa, komunitas, tradisi,
individualisme antar sesama, bahkan yang saya rasa paling ekstrim adalah
pergaulannya.
Pertama masalah bahasa, sehari-hari saya di rumah, di kampus memang
terbiasa bahasa indonesia, waktu SMP di pondok dan SMA di asrama karena
banyak teman-teman juga yang dari luar pulau jadi bahasa yang digunakan
juga bahasa indonesia, tapi tidak sedikit juga yang terkadang bilan
kalau saya itu sombong karena tinggal di jawa, muka orang jawa,
keturunan jawa tapi tidak dapat berbahasa jawa, terkadang kurang bisa
berbaur juga sih dengan teman-teman di kampus yang lihay berbahasa jawa,
mungkin mereka merasa bahasa indonesia terlalu formal jika dipakai
untuk ngobrol-ngobrol santai.
Bahasa jawa ngoko juga masih menjadi sedikit permasalahan buat saya.
Surabaya ini terkenal sekali bahasa jawa yang bisa di bilang kasar sebab
misalnya kata-kata (maaf) ‘Jancok’ karena saya yang bisa di bilang
latar belakang agamis mendengar kata-kata itu sedikit risih sebenarnya,
sebab menurut saya itu merupakan umpatan kasar, tapi lain halnya dengan
masyarakat Surabaya itu sendiri mereka beranggapan kata-kata itu kata
sapaan bahkan ungkapan untuk suatu hal, misalnya ada dosen yang
baik,ramah banget dia pasti akan bilang ‘apik e cuk dosen ini’, kalau
memanggil temannya saja tak jarang menyebut sedemikian rupa misalnya
‘awakmu wes mangan a cuk’.
Kedua komunitas, komunitas di Surabaya ini bisa dikatakan sangat
banyak apapun hobi mereka pasti ada komunitasnya. Ada perkumpulan
Biker’s mereka pecinta motor dan suka touring, komunitas sepeda
jadul,dan komunitas-komunitas yang lain.
Pergaulan di Surabaya juga terkadang membuat saya risih. Saya ambil
contoh di lingkungan FIB sendiri, tak jarang melihat para perempuan
merokok bahkan yang paling heboh saya dan teman-teman pernah melihat ada
sepasang senior yang (maaf) memeluk dan mencium pacarnya di depan umum.
Saya merasa hal sedemikian rupa bukan konsumsi publik apa lagi di depan
umum, tapi entah sayanya yang kurang mengikuti perkembangan zaman
ataukah pasangan itu yang tidak tahu tempat.
Individualisme di kota Surabaya ini juga saya rasa juga sangat
menonjol. Waktu saya di pondok maupun di asrama apabila ada teman yang
sakit satu pasti semua juga sakit, apabila ada teman yang senang satau
semuanya ikut senang, tapi saya lihat di surabaya ini kebersamaan itu
saya rasa sangat kurang, parahnya di salah satu perumahan di surabaya
pernah ada seorang nenek yang tinggal sendiri di rumahnya meninggal
dunia dan tidak ada seorangpun tetangga yang mengetahuinya, saat bau
busuknya menyengat baru tetangga tau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar