Rabu, 14 November 2012

pergaulan surabaya

Saya merasa mempunyai pengalaman hidup yang saya rasa penalama ini jarang teman-teman sebaya saya merasakannya. Saya lahir dan dibesarkan hingga jenjang sekolah dasar di SD Muhammdiyah 1 Samarinda, kemudian SMP saya tinggal di pondok darul’ulum jombang dan bersekolah di SMP 3 Peterongan, SMA saya kembali merantau pindah kota ke Malang tepatnya di Man 3 Malang, dan saat ini saya tinggal di Sidoarjo serta kuliah di Universitas Airlangga.
Manusia nomaden sering melekat menjadi icon saya, bahkan apabila saya di tanya orang asli mana sayapun bingung menjawab saya itu asli mana sebab ibarat makan prasmanan dari 10 jenis makanan masing-masing makanan mungkin hanya saya coba 4-5 sendok.
Banyak perbedaaan yang saya rasakan saat berpindah-pindah dari pulau ke pulau dan dari kota ke kota. Bahasa, komunitas, tradisi, individualisme antar sesama, bahkan yang saya rasa paling ekstrim adalah pergaulannya.

Pertama masalah bahasa, sehari-hari saya di rumah, di kampus memang terbiasa bahasa indonesia, waktu SMP di pondok dan SMA di asrama karena banyak teman-teman juga yang dari luar pulau jadi bahasa yang digunakan juga bahasa indonesia, tapi tidak sedikit juga yang terkadang bilan kalau saya itu sombong karena tinggal di jawa, muka orang jawa, keturunan jawa tapi tidak dapat berbahasa jawa, terkadang kurang bisa berbaur juga sih dengan teman-teman di kampus yang lihay berbahasa jawa, mungkin mereka merasa bahasa indonesia terlalu formal jika dipakai untuk ngobrol-ngobrol santai.
Bahasa jawa ngoko juga masih menjadi sedikit permasalahan buat saya. Surabaya ini terkenal sekali bahasa jawa yang bisa di bilang kasar sebab misalnya kata-kata (maaf) ‘Jancok’ karena saya yang bisa di bilang latar belakang agamis mendengar kata-kata itu sedikit risih sebenarnya, sebab menurut saya itu merupakan umpatan kasar, tapi lain halnya dengan masyarakat Surabaya itu sendiri mereka beranggapan kata-kata itu kata sapaan bahkan ungkapan untuk suatu hal, misalnya ada dosen yang baik,ramah banget dia pasti akan bilang ‘apik e cuk dosen ini’, kalau memanggil temannya saja tak jarang menyebut sedemikian rupa misalnya ‘awakmu wes mangan a cuk’.
Kedua komunitas, komunitas di Surabaya ini bisa dikatakan sangat banyak apapun hobi mereka pasti ada komunitasnya. Ada perkumpulan Biker’s mereka pecinta motor dan suka touring, komunitas sepeda jadul,dan komunitas-komunitas yang lain.
Pergaulan di Surabaya juga terkadang membuat saya risih. Saya ambil contoh di lingkungan FIB sendiri, tak jarang melihat para perempuan merokok bahkan yang paling heboh saya dan teman-teman pernah melihat ada sepasang senior yang (maaf) memeluk dan mencium pacarnya di depan umum. Saya merasa hal sedemikian rupa bukan konsumsi publik apa lagi di depan umum, tapi entah sayanya yang kurang mengikuti perkembangan zaman ataukah pasangan itu yang tidak tahu tempat.
Individualisme di kota Surabaya ini juga saya rasa juga sangat menonjol. Waktu saya di pondok maupun di asrama apabila ada teman yang sakit satu pasti semua juga sakit, apabila ada teman yang senang satau semuanya ikut senang, tapi saya lihat di surabaya ini kebersamaan itu saya rasa sangat kurang, parahnya di salah satu perumahan di surabaya pernah ada seorang nenek yang tinggal sendiri di rumahnya meninggal dunia dan tidak ada seorangpun tetangga yang mengetahuinya, saat bau busuknya menyengat baru tetangga tau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar